Muhammadiyah, IDI, dan Perawat Tolak Omnibus Law Kesehatan



JAKARTA — PP Muhammadiyah dan tujuh organisasi kesehatan di Indonesia menolak dengan tegas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan. Meski demikian, dalam Badan Legislasi DPR, telah ada penetapan RUU tentang Kesehatan dengan metode omnibus law menyusul inisiatif DPR.

Tujuh organisasi itu terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), PP Ikatan Bidan Indonesia, DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia, PP Ikatan Apoteker Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, hingga Forum Peduli Kesehatan. “Kami menolak secara tegas keberadaan RUU tentang Kesehatan,” kata Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dalam keterangannya, dikutip Rabu (8/2).

Ihwal menetapkan RUU yang ada, pihaknya dengan tujuh organisasi kesehatan mendorong Badan Legislasi (Baleg) DPR agar mengeluarkan RUU tentang Kesehatan dari program legislasi nasional (Prolegnas) 2023. “Melalui pengalaman beraktivitas di bidang kesehatan dan ketersediaan sumber daya kepakaran yang dimiliki, kami akan melakukan sophistikasi kajian tentang kesehatan yang lebih esensial dan sesuai dengan filosofi awalnya, yaitu pemenuhan hak dasar bidang kesehatan, dan tak terkecuali, sebagai organisasi dakwah, memberikan nuansa humanis-profetis di dalamnya,” ujar Busyro.

Busyro menambahkan, pihaknya akan terus memantau proses legislasi yang ada ke depannya. Alasan kekecewaan yang ada, karena penggunaan metode omnibus dalam penyusunan RUU Kesehatan dipergunakan tanpa melibatkan peran aktif seluruh sektor yang terdampak pengaturan.

Kekecewaan dari tujuh organisasi dan Muhammadiyah karena dikhawatirkan mengulang pola pengaturan dengan metode omnibus, baik dalam bentuk Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja maupun UU 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

“RUU tentang Kesehatan menunjukkan arah pengaturan yang menempatkan pemerintahan sebagai aktor utama dalam pengelolaan bidang kesehatan dengan melakukan pengaturan yang bersifat delegasi blangko. Tidak kurang dari 56 aturan bersifat delegasi blangko dalam RUU Kesehatan yang dilarang penggunannya dalam UU tentang pembentukan UU,” kata Busyro.

Baleg DPR telah menetapkan RUU tentang Kesehatan menjadi usul inisiatif DPR. RUU tersebut terdiri atas 20 bab dan 478 pasal, yang setidaknya mengatur 14 hal. Pertama adalah pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan perawatan kesehatan sampai sembuh. Kedua, mengarusutamakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau korehabilitatif yang di dalamnya termasuk penanggulangan kejadian luar biasa atau wabah.

“Tiga, pengaturan mengenai tele kesehatan dan telemedicine untuk mengakomodasi perkembangan layanan kesehatan dewasa ini,” ujar Wakil Ketua Baleg M Nurdin membacakan 14 poin yang diatur dalam RUU Omnibus Kesehatan, Selasa (7/2) malam.

Keempat, kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan akses pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan primer, dan pelayanan kesehatan rujukan di seluruh wilayah Indonesia. Termasuk daerah terpencil, perbatasan, kepulauan, komunitas khusus, lembaga pendidikan dan keagamaan, pesantren, serta daerah yang tidak diminati swasta.

Lima, pembedaan rumah sakit pendidikan yang terdiri atas rumah sakit yang bekerja sama dengan institusi pendidikan dan rumah sakit yang secara mandiri menyelenggarakan pendidikan proyeksi dokter atau dokter gigi spesialis, dan subspesialis. Dengan ketentuan telah menjadi bagian sistem pendidikan akademik paling sedikit lima tahun sebagai rumah sakit pendidikan utama.

“Enam, pembentukan konsil tenaga kesehatan tradisional yang terpisah dari konsil kedokteran Indonesia dan konsil tenaga kesehatan Indonesia,” ujar Nurdin.

Selanjutnya, pengamanan dan penggunaan kesediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga yang aman, berkhasiat, bermanfaat, halal, dan bermutu. Serta, terjangkau yang mengutamakan produk dalam negeri.

Kedelapan, pengaturan tentang obat bahan alam, jamu, dan obat herbal dengan mendorong penemuan invensi dan pengembangan obat bahan alam. Sehingga memiliki daya saing dan menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif.

Sembilan, RUU omnibus kesehatan mengatur organisasi profesi sebagai wadah berhimpunnya tenaga medis atau tenaga kesehatan. Di mana setiap kelompok tenaga medis atau tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.

“Sepuluh, pengaturan terkait pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri dan pemanfaatan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang memenuhi standar kompetensi,” ujar Nurdin.

Poin ke-11, pengaturan terkait pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri. Serta, pemanfaatan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang memenuhi standar kompetensi dan harus mengutamakan tenaga medis dan tenaga kesehatan WNI.

Ke-12, pembentukan komite kebijakan sektor kesehatan untuk akselerasi pembangunan dan memperkuat ketahanan sistem kesehatan. Lalu ke-13, besaran anggaran kesehatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dialokasikan minimal sebesar 10 persen dari APBN dan APBD di luar gaji. Terakhir, ketentuan penutup yang menyatakan bahwa saat RUU omnibus Kesehatan mulai berlaku, sembilan undang-undang dalam bidang kesehatan dinyatakan dicabut atau tidak berlaku.

Sebanyak 10 persen APBN direncanakan akan dialokasikan khusus untuk sektor kesehatan. Hal tersebut menjadi salah satu poin dari RUU tentang Kesehatan. “Besaran anggaran kesehatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dialokasikan minimal sebesar 10 persen dari APBN dan APBD, di luar gaji,” ujar Nurdin. []

Sumber: Republika

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama