Dunia Kedokteran Tidak Pernah Secanggih yang Kamu Bayangkan


Diana Wijayanti
S1 Pendidikan Dokter, Universitas Gadjah Mada (2020)

Dokter dan ilmuwan sehebat apapun tidak akan bisa menyembuhkan penyakitmu. Tidak pernah ada yang bisa. Sebelum kita bahas Covid-19, coba kita telusuri penyakit yang lebih common. 

1. Common Cold

Batuk, pilek, demam. Ah, biasa nih kecapekan. Keujanan kemarin. Saya yakin semua individu di dunia yang berusia lebih dari satu tahun pernah mengalami batuk-pilek. Ini penyebabnya virus ya, bukan bakteri. Apa yang dilakukan? Kalo angkatan boomer ke bawahmungkin mayoritas jawabnya kerokan. Tapi kalau ke dokter? Prinsip obat common cold tidak jauh-jauh dari obat penurun demam, pereda dahak, pengencer mucus atau pelega pernapasan, dan anti-alergi untuk beberapa kasus.[2] Apakah segepok obat yang diresepkan dokter menyembuhkan kamu? Tidak bro. Obat itu hanya meringankan gejala. Supaya kamu bisa lebih nyaman istirahat. Bisa bobok. Mau makan. Inget minum. Karena yang menyembuhkan kamu ya sistem imun kamu sendiri. Tunggulah 3–5 hari, atau pada beberapa individu dengan alergi 7–14 hari, niscaya kamu sembuh. Bukan karena obat dokter. Tapi karena virusnya berhasil dibunuh sistem imunmu. Dengan catatan kondisi imunmu baik, ya.
2. Patah Tulang Terbuka (Open Fracture)
Katakanlah kamu melihat keluarga atau tetangga kecelakaan. Tulangnya patah. Kulitnya terbuka. Ada darah banyak keluar. Kemudian segera dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat. Katanya, sama dokter dijahit kemudian dipasang gips. Apakah dokter tersebut menyembuhkan kenalan kamu? Sayangnya tidak, kawan. Menjahit kulit fungsinya terutama untuk mencegah infeksi dan membantu agar strukturnya bisa tumbuh kembali senormal mungkin. Tanpa kemampuan sel-sel kulit, otot, dan tulangmu beregenerasi, luka itu akan terus bolong, tidak peduli setebal apapun jahitannya. Makanya, orang patah tulang ke sangkal putung dan 'diurut' pun bisa tetap sembuh. Walau kadang jadi pincang atau jalannya mencong. Karena prinsipnya, peran dokter pada patah tulang ya bukan menumbuhkan tulang, tapi memastikan tulang itu berada pada posisi yang ideal untuk tumbuh kembali. Tulangnya niscaya bisa sembuh sendiri.
3. Diabetes Mellitus Tipe 2
Ini dia salah satu momok paling menakutkan bagi kaum lansia. Kencing manis, they said. Wajarlah udah tua, they said. Tapi tahukah kamu? Isu yang paling sering muncul terkait obat pada penderita DM tipe 2 bukanlah obat mahal atau tidak tersedia, melainkan 1) bosan minum obat, 2) bosan mantang, 3) merasa sudah sembuh. Bosan rek, minum obat tiap hari sampe mati. Bosan bro, gak boleh makan ini itu, kalau kumpul-kumpul bukannya senang malah sedih. Makan opor lebaran aja gak boleh. "Ah, saya udah sembuh kok, buat apa minum obat?" Hehehe.
Kenapa bisa terjadi hal ini? Di dunia kedokteran, kalau sudah terdiagnosis DM tipe 2, kamu tidak akan pernah bisa mengembalikan fungsi normal tubuhmu dalam memproses makanan sesimpel dan se-fundamental gula. Bayangkan, makan nasi aja harus mikir! Semua gara-gara kamu tidak cukup sayang dengan tubuhmu sendiri, utamanya sel-sel penghasil insulin di pankreas. Apakah dokter bisa menyembuhkan? Tidak. Obat yang diberikan bersifat mengontrol penyakit agar tidak muncul komplikasi semakin banyak. Agar bisa hidup lebih lama. Tidak bisa mengembalikan fungsi normal tubuhmu. Makanya pasien bosen minum obat terus.
4. SARS-CoV-2 (Covid-19)
Sekarang kita kembali ke Covid-19. Apakah dunia kedokteran sekarang belum "secanggih" yang kita bayangkan hingga begitu lamanya vaksin untuk virus Corona ditemukan? Mengutip jawaban dokter Liang-Hai Sie, normalnya pengembangan vaksin memakan waktu setidaknya 15 tahun.[3] Vaksin small pox, satu-satunya di dunia yang efektif mengeradikasi sebuah spesies virus, membutuhkan waktu yang kurang lebih sama, belum ditambah durasi yang dibutuhkan untuk memvaksinasi mayoritas penduduk dunia.[4] Kalaupun nanti vaksin Covid-19 sudah ditemukan, belum tentu penyakitnya menghilang. Lagi pula, tidak semua kuman bisa dilawan dengan vaksin secara efektif. Influenza misalnya, karena virusnya cukup canggih, vaksin yang diberikan ke tubuhmu pun harus diupdate setiap tahun.[5]
Rekor penyakit yang bisa dieradikasi vaksin hanya smallpox. Hanya satu, dari sekian banyak penyakit yang diakibatkan virus. Itu pun bisa terjadi karena penanganannya dahulu sangat agresif dan kebetulan menjadi ajang bagi Blok Timur dan Blok Barat untuk unjuk gigi.
Dulu, di kelas S1 Pendidikan Dokter, saya dikejutkan oleh betapa banyaknya penyakit yang dosen saya simpulkan dengan, "Belum ada obatnya," atau "Mekanisme penyakitnya belum jelas." Lebih dari setengahnya, men. Dokter adalah manusia, pengetahuannya sangat terbatas. Seorang profesor menitipkan sebuah kalimat yang sangat membekas untuk saya di salah satu kelas, "Half of what we are going to teach you is wrong, and half of it is right. Our problem is that we don't know which half is which."[6]
Bottomline, secanggih apapun fasilitas kedokteran yang kamu dengar sekarang, belum pernah ada ilmuwan yang berhasil menciptakan manusia langsung dari unsur organiknya. Jadi, jangan terlalu berharap pada dokter dan ilmuwan. Berharaplah pada dirimu sendiri. Banyak-banyak investasi di kesehatan baik mental maupun fisik. Kalau tubuhmu sudah rusak, dokter dan ilmuwan hanya bisa bilang, "Kami akan berusaha sebaik mungkin, mohon bantu doanya, Bu/Pak." Tidak ada yang bisa menolong dirimu sendiri kecuali kamu dan Tuhanmu.
Disclaimer: Supaya tidak salah paham, di sini saya tidak pernah menyebutkan bahwa usaha dokter tidak ada gunanya. Memang kemajuan dunia kedokteran sudah sangat membantu survival manusia, makanya skrng pun muncul istilah Quality of Life, di mana individu tidak hanya hidup dan sembuh tapi juga sehat dan mampu produktif. Di sini yg saya highlight, dokter dan segala macam teknologi itu hanya usaha, tapi yang menyembuhkan ya bukan dokter. Kalau usaha dokter berbanding lurus dengan kesembuhan, sekarang harusnya tidak ada orang yang meninggal karena sakit. Plus, harusnya kesembuhan yang dibantu “orang pintar” juga tidak selaris itu di Indonesia. Sembuh atau tidak sembuh itu menurut saya takdir. Dokter berusaha. Tenaga kesehatan berusaha. Perantara yang lain berusaha. Tidak bermaksud mengecilkan kemajuan dunia medis, tapi pendapat saya begitu.
Catatan Kaki

Sumber: Quora






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama