Ilmu Kedokteran dan Munculnya Rumah Sakit (Bīmāristān)

 


Oleh: Dr Alwi Alatas

Ilmu pengobatan telah muncul sejak era peradaban-peradaban kuno. Ia terus berkembang mengikuti kemajuan zaman. Pada era peradaban Islam, para dokter Muslim melanjutkan dan mengembangkan tradisi kedokteran lebih jauh lagi, termasuk dalam membangun rumah sakit.

Islam muncul di Jazirah Arab, di tengah masyarakat yang masih sederhana dan belum mengembangkan sains. Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam satu kesempatan, “Kita adalah umat yang buta huruf (ummatun ummiyyatun); kita tidak (bisa) menulis dan juga tidak tahu berhitung; (hitungan) bulan adalah begini dan begini (kadang 29 hari dan kadang 30 hari).”  (al-Bukhārī, 1997, III/88; hadits no. 1913).

Perkataan beliau di atas tidak bermakna ilmu pengetahuan tidak memiliki posisi penting di dalam Islam. Namun, yang dimaksud adalah kaum Muslimin tidak dituntut untuk menguasai sains secara mendalam untuk menjalankan ibadahnya.

Selain itu, sabda beliau tersebut menggambarkan tentang masyarakat Arab yang ada pada masa itu secara umum, walaupun sebenarnya ada juga beberapa di antara mereka yang tidak buta huruf dan memiliki kepandaian tertentu dalam hal ilmu pengetahuan.

Berkenaan dengan kedokteran, pengetahuan masyarakat Arab ketika itu masih sangat terbatas, tetapi mereka bukannya sama sekali tidak mengenal ilmu pengobatan. Bahkan pada zaman Nabi, ada seorang dari Bani Tsaqif  (penduduk Ta’if), yaitu al-Hārits ibn Kaladah, yang pernah mempelajari ilmu kedokteran di Persia dan sempat diminta untuk mengobati Saᶜd ibn Abī Waqqāṣ yang sakit keras ketika sedang berada di kota Makkah (Ibn Abī Uṣaybiᶜah, t.t., 161).

Cara pengobatan dengan diet tertentu, antara lain dengan menggunakan madu, serta terapi dengan bekam atau dengan menggunakan api (besi panas; kay) telah dikenal pada era itu dan ikut disarankan oleh Rasulullah ﷺ, walaupun yang terakhir di atas (dengan api) kurang disukai oleh Rasulullah. (al-Bukhārī, 1997, VII/327-328; hadits no. 5683).

Cara-cara pengobatan ini pada masa-masa berikutnya dihimpun oleh para ulama dalam genre tulisan tentang pengobatan Nabi (Ṭibb al-Nabawī). Yang menulis genre ini biasanya adalah dari kalangan ulama.

Namun, ketika ilmu kedokteran berkembang pada masa-masa berikutnya, misalnya pada abad ke-10 dan 11, genre Ṭibb al-Nabawī kadang merefleksikan juga sedikit banyak pengetahuan penulisnya tentang ilmu kedokteran umum (Muhammad Fawwaz, 2020, 121).

Pada abad-abad berikutnya sejak era Nabi ﷺ, ilmu pengetahuan, termasuk ilmu kedokteran, berkembang dengan pesat dan peradaban Islam memimpin di bidang ini. Perkembangan ini, menurut Dr. Muhammad Abdul Jabbar Beg (2010, 30 Agustus), telah diinspirasi oleh al-Qur’an dan hadits Nabi, di samping juga oleh adanya warisan peradaban kuno serta munculnya para ilmuwan kreatif di dunia Islam yang mengembangkan ilmu pengetahuan lebih jauh.

Dalam satu hadits, misalnya, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada satu penyakit pun yang Allah turunkan melainkan Dia juga menurunkan obatnya.” (al-Bukhārī, 1997, VII/326; hadits no. 5678). Hal ini menunjukkan bahwa obat perlu, dan dapat, dicari dalam upaya menyembuhkan penyakit, walaupun orang-orang yang beriman yakin bahwa yang memberikan kesembuhan pada hakekatnya adalah Allah.

Seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran, kemudian berkembang juga apa yang kita kenal sebagai rumah sakit, yang akan dibahas lebih jauh di bawah ini.

Awal Kemunculan Rumah Sakit di Dunia Islam

Saat menyinggung tentang cikal bakal rumah sakit di era Nabi ﷺ, biasanya para penulis akan menyebut tentang perawatan bagi para korban perang Khandaq di dalam tenda di samping Masjid Nabawi yang dilakukan oleh Rufaydah al-Aslamiyah (Alotaibi, 2021, 140; Tschanz, 2017, 23).

Ada juga Muslimah lainnya yang melakukan peranan semacam ini di dalam beberapa peperangan. Rubayᶜ binti Muᶜawwidh ibn ᶜAfrā’, misalnya, pernah berkata, “Kami pernah menyertai ekspedisi militer bersama Rasulullah ﷺ, menyediakan air bagi orang-orang dan melayani mereka, serta membawa kembali yang gugur dan yang terluka ke Madinah.” (al-Bukhārī, 1997, VII/326; hadits no. 5679).

Ini merupakan bentuk perawatan pesakit yang tidak permanen, yang cara serta fasilitas pengobatannya masih sangat sederhana, jauh dari gambaran rumah sakit yang kita kenal sekarang.

Pada era Bani Umayyah, tepatnya pada era al-Wālid ibn ᶜAbd al-Malik (w. 715), disebutkan bahwa khalifah menyediakan pelayan buat orang-orang yang cacat dan buta, serta memberikan bantuan bagi penderita lepra (al-mujadhdhamīn) agar mereka tidak perlu meminta-minta pada orang lain (dalam al-Ṭabarī, 1964, VI/496).

Sebagian sejarawan memahami ini sebagai leprosarium, rumah sakit khusus untuk penderita lepra. Namun, mungkin juga para penderita lepra ketika itu hanya ditempatkan di distrik yang terpisah untuk mencegah penularan penyakit dan mereka serta keluarganya diberi bantuan keuangan oleh pemerintah (Hamarneh, 1962, 367).

Adapun rumah sakit sebagai sebuah instalasi kesehatan yang permanen untuk merawat pasien tampaknya baru benar-benar dimulai pada era Abbasiyah. Nama yang digunakan untuk lembaga ini adalah bīmāristān, sebuah perkataan Persia yang terdiri dari kata bīmār yang bermakna “sakit” dan diberi akhiran istān yang bermakna “tempat” (Dunlop, 1986, II/1222); artinya tempat untuk orang sakit atau rumah sakit.

Asal-usul Persia bagi nama rumah sakit di dunia Islam memberi saran bahwa rumah sakit di dalam peradaban Islam merupakan kelanjutan dari rumah sakit yang ada di Persia. Memang Persia memiliki pusat ilmu kedokteran yang penting di Jūndī-Shāpūr di Khuzistan (kini kawasan Iran), yang mungkin menjadi tempat belajar al-Hārits ibn Kaladah. Walaupun berada di bawah kekaisaran Persia, Jūndī-Shāpūr merupakan pusat ilmu kedoteran Kristen (Dols, 1987, 367-368).

Pentingnya kedudukan Jūndī-Shāpūr membuat dokter-dokter dari keluarga Ibn Bakhtīshū di lembaga pengobatan itu, Jurjis dan kemudian cucunya Jibril, diundang masing-masing oleh al-Manṣūr (w. 775) dan Hārūn al-Rashīd (w. 809) untuk menjadi dokter istana. Bahkan dikatakan bahwa Hārūn al-Rashīd telah meminta Jibrīl Ibn Bakhtīshū untuk membangun sebuah rumah sakit atau bīmāristān di Baghdad (Hamarneh, 1962, 367-368).

Catatan sejarah lainnya menyebutkan keberadaan rumah sakit yang dibangun oleh wazir al-Rashīd, yaitu Yaḥyā ibn Khālid dari keluarga Barmakid. Dua orang dokter India, Mankah (atau Kankah) dan Ibn Dahn, bekerja di rumah sakit tersebut dan keduanya juga ditugasi untuk menerjemahkan beberapa karya kedokteran India ke dalam bahasa Arab (Dols, 1987, 382-383).

Berbeda dengan narasi di atas, Dols (1987, 371) berpendapat bahwa asal usul rumah sakit Islam sebenarnya bukan dari Persia, tetapi dari Byzantium, terutama melalui institusi-institusi kesehatan yang ada di kawasan Suriah yang menjadi bagian dari wilayah Islam sejak pertengahan abad ke-7.

Di kawasan itu terdapat pusat layanan kesehatan bagi orang-orang yang sakit, yang disebut sebagai nosokomeion, yang kadang fungsinya beririsan dengan lembaga sosial lainnya (xenodocheion) yang berperan dalam memberi makanan dan tempat menginap bagi orang asing/musafir; keduanya dikelola oleh gereja.

Mungkin memang ada pengaruh Persia dan Byzantium – serta India – dalam hal kemunculan rumah sakit di dunia Islam. Itu merupakan hal yang wajar karena ilmu pengetahuan dan hal-hal yang berkaitan dengannya selalu berlanjut dari satu peradaban ke peradaban yang berikutnya. Hal ini berlaku juga untuk peradaban Islam.

Namun, pada peradaban Islam-lah rumah sakit berkembang ke tahap yang lebih kompleks, sehingga David W. Tschanz (2017, Maret-April) menyatakan di dalam artikelnya bahwa rumah sakit di era Islam merupakan akar bagi rumah sakit yang ada di era modern. Fitur yang ada pada rumah sakit modern, termasuk dalam tata administrasi serta sistem pengobatannya yang bersifat humoral, dapat dijumpai juga pada bīmāristān di era Abbasiyah.

Sejak awal pendiriannya di Baghdad, sejumlah bīmāristān terus bermunculan di berbagai kota Muslim lainnya seperti Rayy, Damaskus, Kairo, Fez, Granada, Makkah, dan Madinah. Tentang perkembangan berikutnya dari bīmāristān dan beberapa karakteristiknya insya Allah akan dijelaskan dalam tulisan berikutnya. Kuala Lumpur.*

Penulis adalah staf pengajar di bidang sejarah dan peradaban pada International Islamic University Malaysia (IIUM)

Daftar Pustaka

  • Alotaibi, Hussah Hindi Shuja. 2021. “A Review on the Development of Healthcare Infrastructure through the History of Islamic Civilization.” Journal of Healthcare Leadership, Vol. 13. https://www.dovepress.com/getfile.php?fileID=71219
  • Beg, Muhammad Abdul Jabbar. 30 Agustus 2010. “The Origins of Islamic Science.” https://muslimheritage.com/origins-islamic-science/
  • Al-Bukhārī. 1997. The Translation of the Meanings of Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Vol. III. Riyadh: Darussalam.
  • Al-Bukhārī. 1997. The Translation of the Meanings of Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Vol. VII. Riyadh: Darussalam.
  • Dols, 1987. “The Origins of the Islamic Hospital: Myth and Reality.” Bulletin of the History of Medicine, Vol. 61, No 3, pp. 367-390. https://www.jstor.org/stable/44442098?seq=1#metadata_info_tab_contents
  • Dunlop, D.M. 1986. “Bīmāristān: i. Early period and Muslim East.” Dalam H.A.R. Gibb, J.H. Kramers, E. Levi-Provencal, J. Schacht, The Encyclopaedia of Islam, New Edition, Vol. II. Leiden: E.J. Brill.
  • Hamarneh, Sami. 1962. “Development of Hospitals in Islam.” Journal of the History of Medicine and Allied Sciences, Vol. XII No. 3, pp. 366-384. https://doi.org/10.1093/jhmas/XVII.3.366
  • Ibn Abī Uṣaybiᶜah. t.t. ᶜUyūn al-Anbā’ fī Ṭabaqāt al-Aṭbā’. Beirut: Manshūrāt Dār Maktabah al-Ḥayāh.
  • Muhammad Fawwaz Muhammad Yusoff dan Nur Izzah Ab Razak. 2020. “Medieval Theoretical Principles of Medicine in Ibn Sīnā’s al-Qānūn fī al-Ṭibb and al-Dhahabī’s al-Ṭibb al-Nabawī.” Afkār 22, No. 2. https://ejournal.um.edu.my/index.php/afkar/article/view/28009/12679
  • Al-Ṭabarī, Abū Jaᶜfar Muḥammad ibn Jarīr. 1964. Tārīkh al-Ṭabarī, Vol. VI. Kairo: Dār al-Maᶜārif.
  • Tschanz, David W. Maret-April 2017. “The Islamic Roots of the Modern Hospital.” AramcoWorld. 22-27.

 Sumber: Hidayatullah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama