JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut proses tracing atau pelacakan kasus cacar monyet terkendala oleh penyebaran yang terjadi pada komunitas tertentu saja. Namun, Kemenkes tetap terus melakukan upaya edukasi kepada kelompok berisiko tinggi dan masyarakat umum untuk menekan penyebaran kasus penyakit itu.
“Kesulitan karena ini pada populasi tertentu. Upaya untuk edukasi masyarakat umum maupun kelompok yang berisiko tinggi untuk mencegah (terus dilakukan),” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada Republika.co.id, Kamis (2/11/2023).
Pemberian edukasi dan informasi itu berupa mendorong bagi yang mengalami gejala cacar monyet untuk segera mendapatkan pengobatan dan melakukan isolasi. Lalu, kata dia, Kemenkes juga memberikan edukasi dan informasi kepada mereka yang terkena gejala untuk tidak melakukan hubungan seksual.
“Segera mendapatkan pengobatan dan isolasi serta tidak melakukan hubungan seks,” kata Nadia.
Nadia menyebutkan, populasi tertentu itu terkait dengan komunitas yang berperilaku seks berisiko, yakni lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dia mengakui, populasi tertentu itu sulit untuk dilacak karena karakteristrik mereka yang tertutup.
Kemenkes juga memperkuat pengawasan atau penemuan kasus aktif di seluruh fasilitas kesehatan dalam upaya penanggulangan cacar monyet. Dalam upaya itu, Kemenkes bekerja sama dengan komunitas atau relawan untuk menjangkau kelompok-kelompok tertentu untuk bisa melakukan deteksi, terutama dalam mencari kontak erat.
“Kita dalami setiap kasus, langsung kita lakukan penyelidikan epidemiologi dan juga penyiapan laboratorium rujukan,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu lewat keterangannya, Rabu (1/11/2023).
Dia menjelaskan, sejumlah laboratorium, seperti Balai Besar Laboratorium Kesehatan milik Kemenkes, mempunyai kemampuan untuk memeriksa cacar monyet. Dengan demikian, pihaknya hanya perlu mendistribusikan reagen yang terkait.
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI Moh Adib Khumaidi menyampaikan, cacar monyet atau mpox dapat menular tidak hanya dari hewan ke manusia, tapi juga dari manusia ke manusia. Cepatnya penyebaran mpox secara global dia sebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor itu, di antaranya tingginya jumlah orang yang bepergian, perdagangan internasional hewan seperti monyet, munculnya jalur penularan baru dari manusia ke manusia. Jalur penularan baru tersebut khususnya melalui hubungan seksual lelaki seks lelaki (LSL).
“Lalu, munculnya gejala yang tidak biasa dan masih minimnya ketersediaan vaksin mpox di negara-negara berisiko tinggi. Lebih dari 90 persen kasus mpox di dunia dilaporkan pada populasi khusus yaitu homoseksual dan biseksual,” ujar dia Selasa (31/10/2023).
Kemenkes sebelumnya telah menjelaskan, kasus cacar monyet di Indonesia bertambah akibat perilaku seks berisiko. Di mana, dari tujuh kasus konfirmasi monkeypox, enam pasien di antaranya juga merupakan orang dengan HIV (ODHIV) dan memiliki orientasi biseksual.
“Penularan terjadi dari manusia ke manusia karena kontak langsung dengan cairan tubuh atau lesi kulit orang yang terinfeksi,” ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu, lewat keterangannya, Senin (23/10/2023).
Maxi mengatakan, pasien monkeypox memiliki faktor perilaku seks berisiko dengan munculnya lesi dan ruam kemerahan. Hal itu kemudian diikuti dengan demam, pembesaran kelenjar getah bening, nyeri pada tenggorokan, myalgia, ruam, dan sulit menelan. []
Sumber: Republika