Ribuan Wanita Laporkan Siklus Haid Berubah Pasca Vaksin Covid



Ribuan perempuan yang tersebar di berbagai negara melaporkan perubahan sementara pada pola menstruasi reguler mereka pasca menerima vaksin Covid-19.

Perubahan ini termasuk penundaan waktu siklus haid, jumlah darah menstruasi yang lebih banyak dari biasanya, hingga nyeri yang terasa lebih signifikan di beberapa bagian tubuh.

Dahye Yim (30) salah satu perempuan yang mengalami hal tersebut. Setelah mendapatkan vaksin Pfizer pertamanya lima bulan lalu, dia melihat sesuatu yang berbeda dengan siklus menstruasinya.

Saat mendapatkan menstruasi, salah satu mahasiswa PhD asal Korea Selatan (Korsel) yang berbasis di London ini mengaku tubuhnya mudah lelah, terasa berat, hingga terasa seperti migrain.

"Setelah saya menerima dosis kedua saya pada September, saya melihat benjolan di bawah ketiak dan saya dapat mengetahui dengan sangat mudah bahwa ini adalah efek samping dari (vaksin) yang tidak perlu dikhawatirkan. Ini membantu saya tenang," katanya kepada Al Jazeera, dikutip Kamis (4/11/2021).

Namun Yim menyayangkan kurangnya informasi yang didukung secara ilmiah tentang kemungkinan efek samping vaksin jangka pendek kepada perempuan.

"Akan sangat membantu jika ini terjadi, termasuk ketika saya mencari informasi tentang ketidakteraturan siklus menstruasi juga. Ada banyak uang di luar sana untuk penelitian Covid dan saya tahu ada prioritas, tetapi saya pikir kesehatan wanita adalah prioritas besar," keluhnya.

Awalnya, para profesional medis tidak menggubris klaim tersebut. Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa jumlah kasus efek vaksin terhadap siklus menstruasi perempuan yang dilaporkan terlalu rendah.

Mereka bahkan mengatakan perubahan siklus haid bisa jadi disebabkan oleh faktor lain seperti stres terkait pandemi. Tentu hal ini membuat banyak perempuan takut untuk divaksin, apalagi ditambah adanya teori konspirasi bahwa vaksin bisa menyebabkan kemandulan.

Setelah muncul banyak seruan dan desakan, kini peneliti akhinrya menyelidiki hubungan vaksin dan siklus haid perempuan. Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA) menjadi salah satu badan yang akan meninjau hal ini setelah menerima laporan oleh lebih dari 30.000 wanita dan dua peneliti medis yang berbasis di Amerika Serikat (AS) yang mengumpulkan lebih dari 140.000 laporan.

Sebenarnya, banyak peserta uji klinis vaksin Covid-19 wanita mengaku tidak ditanya tentang siklus menstruasi mereka. Padahal di masa lalu, ketidakteraturan siklus menstruasi dicatat sebagai gejala pasca-vaksinasi dalam penelitian lain.

Ini juga terjadi dalam uji coba human papillomavirus atau vaksin HPV yang dilakukan di Jepang pada tahun 2010 dan 2013 yang mencatat "jumlah perdarahan menstruasi yang tidak normal" pada beberapa peserta. Serta pada uji coba vaksinasi influenza berbasis di AS yang berlangsung antara 2013 dan 2017.

Namun di luar beberapa catatan, hanya ada sedikit data atau pengetahuan yang didukung secara ilmiah tentang bagaimana vaksin dapat mempengaruhi siklus menstruasi wanita.

"Ada sejarah mual di sekitar periode, dan kami menyerapnya dari lingkungan kami," kata Dr Victoria Male, dosen imunologi reproduksi di Imperial College London.

"Ada banyak orang yang tidak menyebutnya periode dan menggunakan istilah seperti aliran atau waktu dalam sebulan. Semua itu masuk ke dalam situasi di mana kita tidak merasa nyaman berbicara tentang menstruasi."

Dia mengatakan bahwa di masa depan, peserta uji coba harus ditanya tentang menstruasi mereka "sebagai pertanyaan standar". Ini menjadi sorotan pada masalah yang sudah ada sebelumnya.

Para analis mengatakan ketidakseimbangan gender struktural seputar pendanaan dan kurangnya representasi perempuan, sebagai peneliti dan peserta, juga berperan atas hal ini. Dahulu perempuan dikecualikan dalam penelitian karena kelompok gender ini dianggap terlalu kompleks untuk dipelajari karena perubahan hormon mereka.

Di Inggris dalam beberapa tahun terakhir, kurang dari 2,5% penelitian yang didanai publik telah digunakan untuk proyek seputar kesehatan reproduksi. Namun angka menunjukkan bahwa satu dari tiga wanita menderita masalah kesehatan reproduksi atau ginekologi.

Bagi wanita kulit berwarna, masalah ini mengancam jiwa. Wanita kulit hitam empat kali lebih mungkin dan wanita dari latar belakang etnis Asia dua kali lebih mungkin meninggal saat melahirkan dibandingkan dengan wanita kulit putih. []

Sumber: CNBC


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama