Pada tahun 2005-2009 lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia dalam mengembangkan senjata biologi dari virus Flu Burung, Avian Influenza (H5N1).
Berdasarkan catatan Departemen Pertanian, unggas - unggas di Indonesia diketahui mulai tergelepak sejak Agustus 2003. Menurut pemerintah, unggas-unggas itu mati karena terserang Tetelo (Newcastle Disease/ND) - penyakit yang memang sering menimbulkan wabah, khususnya pada peternakan . Dipertegas oleh Kelompok Kerja Penyidik Penyakit Unggas Nasional (K2P2UN), yang memang secara khusus dibentuk pemerintah untuk menyelidiki masalah ini, dalam paparan hasil investigasi dan diagnosisnya menyatakan bahwa penyebab kematian unggas-unggas tersebut adalah ND velogetic (vvND) -penyakit tetelo ganas dan fatal yang menyerang pencernaan unggas. Padahal, sejak itu pula sudah ditemukan virus ikutan lain yang mendompleng tapi belum diketahui jenisnya. Hingga K2P2UN menduga wabah tersebut merupakan virus Avian Influenza atau yang kini populer dengan sebutan flu burung.
Virus Flu Burung tersebut pertama kali menerjang Vietnam pada tahun 2004, kemudian Thailand dan Cina, pada tahun 2005 telah memasuki Indonesia. Wabah tersebut telah membuat Indonesia sebagai negeri pesakitan dan menjadi bahan pergunjingan dunia Internasional. Pemerintah RI dinilai lamban dalam mengatasi situasi darurat yang membahayakan dunia ternak dan berimbas pada kematian manusia.
Dan berawal dari merebaknya virus flu burung di Indonesia dan beberapa Negara tersebut WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu Burung untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka Global InfluenzaSurveilance Network (GISN) WHO.
Negara - negara yang mengalami outbreak Flu Burung pada manusia harus menyerahkan virus H5N1 ke WHO CC dan menunggu diagnosis dari virus yang dikirim tersebut. Tetapi setelah itu negara pengirim tidak pernah tahu. Diapakankah virus tersebut, dan apakah akan dibuat vaksin atau bahkan jangan - jangan akan diproses menjadi senjata biologi (?) Sebagai salah satu negara yang terkena wabah flu burung Vietnam pun mengirimkan virus tersebut kepada WHO CC. Dan alangkah ironisnya. negara Vietnam yang mengirim virus H5N1 ke WHO CC tidak pernah mengerti ke mana virus yang mereka kirim saat itu? Diapakankah virus itu kemudian? Dan tiba -- tiba sudah heredar di dunia sehagai vaksin yang diperjual-helikan dengan harga yang tidak terjangkau hagi negara yang sedang herkemhang. Sementara rakyat Vietnam meninggal karena Flu Burung, di depan mata pedagang herkulit putih dari Eropa menawarkan vaksin dengan Vietnam strain. bahkan bila rakyat Vietnam membutuhkan vaksin tersehut harus membelinya dengan harga mahal. Ironisnya lagi, kalau tidak mampu membeli ya hanya bisa menerima nasib saja.
Dari buku tersebut pula dijelaskan salah satu bentuk ketidakadilan yang tidak kalah menyakitkan hati. Yaitu adanya kasus klaster di Tanah Karo dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang menderita flu burung. Para pakar ahli WHO yang hampir semuanya epidemiolog menyimpulkan bahwa klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan antar manusia (human to human transmission). Pernyataan dan kesimpulan yang sangat sembrono dan gegabah menurut pendapat dari Ibu Siti Fadhilah. Tetapi WHO Indonesia dengan arogannya meyakinkan semua wartawan dalam maupun luar negeri bahwa sudah terjadi penularan antar manusia di Indonesia. Bahkan CNN dengan headline news menyiarkan ke seluruh dunia bahwa telah mulai terjadi penularan Flu Burung antar manusia di Indonesia, yang artinya pandemik Flu Burung yang ditakutkan umat manusia sedunia sudah mulai.
Maka dengan adanya pernyataan tersebut dilakukanlah sequencing spesimen virus H5N1 yang berasal dari Tanah Karo di Lembaga Eijkman. Hal tersebut segera dilakukan sebab betapa dahsyat akibatnya bila isu penularan langsung antar manusia di Indonesia menjadi suatu berita yang dipercaya. Negara kita akan menghadapi masalah besar, karena pasti akan diisolasi, tidak boleh ada sesuatu pun yang ke luar dari Indonesia dan juga tidak ada yang boleh masuk ke Indonesia. Detak ekonomi akan berhenti, apalagi bisnis pariwisata pasti akan tamat. Dari adanya pernyataan itu selain melakukan sequencing DNA layangan teguran disampaikan kepada pihak WHO Indonesia karena dalam menyimpulkan sesuatu yang belum tentu betul dan mempunyai konsekuensi yang berat bagi negara Indonesia. Seharusnya masalahnya didiskusikan lebih dahulu sebelum memberikan kesimpulan ke CNN. Hingga Ibu Siti Fadhilah Supari mengadakan konferensi pers yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidaklah benar. Karena menurut analisisnya bila pernyataan WHO tersebut benar; korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak bukan puluhan tapi mungkin ribuan. Yang paling penting untuk menyimpulkan penularan langsung dari manusia ke manusia tidak cukup hanya berdasarkan data epidemiologi seperti yang dilakukan oleh WHO. Tetapi harus dikuatkan dengan data virologi yang merupakan bukti pasti. Tetapi tetap saja masyarakat internasional seperti tidak peduli. Seolah-olah kurang percaya dengan hasil sequencing yang dilakukan di Lembaga Eijkman, hanya karena lembaga tersebut belum pernah diakreditasi oleh WHO.
Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO.
Hingga muncullah berita dari koran Singapura, Straits Times, 27 Mei 2006 dalam artikel; "Scientists split over sharing of HSNl data". Selama ini data sequencing H5N1 yang dikirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui..
Hal yang sangat mengejutkan bagi para peneliti karena laboratorium Los Alamos berada di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Di laboratorium inilah dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima di tahun 1945. Tampaknya laboratorium ini tempat riset dan pembuatan senjata kimia di USA.
Akhirnya Ibu Fadhilah tidak bisa membiarkan situasi ini, ia meminta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 yang disimpah WHO harus dibuka. Tidak boleh hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, telah memujinya.
Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.
Akhirnya, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.
Dari sekilas cerita perjuangan Ibu Siti Fadhilah Supari dalam kasus Flu Burung tersebut menggambarkan salah satu bentuk nasionalisme yang ia lakukan dengan tujuan Indonesia dapat berdiri dengan kaki sendiri. Karena selama ini rakyat Indonesia sudah cukup terjajah dengan penjajahan gaya baru atau Neo Kolonialisme yang dulu sering diucapkan oleh Bung Karno. Indonesia merupakan negara besar yang merdeka dan berdaulat, kita harus bisa berdiri dengan kaki sendiri. Menjadi bangsa yang bermartabat dan diakui oleh dunia. []
*) Artikel ini berasal dari tulisan Aprilia Safira di Kompasiana yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah : Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung." Tautan aslinya >>klik di sini<<